Sabtu, 02 Mei 2009

Metode Pembelajaran

COOPERATIVE LEARNING/
INOVASI PEMBELAJARAN


A. Pendahuluan
Sebagai sebuah model pengajaran, pembelajaran kooperatif mendukung pendekatan umum ini: Setelah menerima pengajaran dari fasilitator, kelas-kelas diatur ke dalam kelompok-kelompok kecil dan memberikan petunjuk yang jelas berkenaan dengan harapan-harapan tentang hasil-hasil dan saran-saran mengenai proses-proses kelompok. Kelompok-kelompok kecil ini kemudian bekerja melalui tugas hingga semua kelompok berhasil memahami dan menyelesaikan tugas tersebut (Johnson & Johnson, 1989).
Sekolah adalah salah satu arena persaingan. Mulai dari awal masa pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana kompetisi dan harus berjuang keras memenangkan kompetisi untuk bisa naik kelas atau lulus. Sebenarnya, kompetisi bukanlah satu satunya model pembelajaran yang bisa dan harus dipakai. Ada tiga pilihan model, yaitu kompetisi, individual, dan coope¬rative learning.
1. Model Kompetisi
Secara positif, model kompetisi bisa menimbulkan rasa cemas yang justru bisa memacu siswa untuk meningkatkan kegiatan belajar mereka. Sedikit rasa cemas memang mempunyai korelasi positif dengan motivasi belajar. Namun sebaliknya, rasa cemas berlebihan justru bisa merusak motivasi. Selain itu, model kompetisi juga mempunyai dampak dampak negatif yang perlu diwaspadai. Model pembelajaran kompetisi menciptakan suasana permusuhan di kelas. Untuk bisa berhasil dalam sistem ini: seorang anak harus mengalahkan teman teman sekelasnya. Sering anak yang berhasil mendapatkan nilai tinggi dimusuhi karena dianggap menaikkan rata rata kelas dan menjatuhkan teman. Anak semacam ini dicap sebagai "tidak kompak." Se¬baliknya, anak yang kalah dalam persaingan bisa menjadi anti¬pati terhadap sesama siswa, pengajar, sekolah, atau malahan proses belajar. Label sebagai orang yang kalah dalam persaing¬an ini bisa menjadi stigma atau luka batin yang terus mengganggu sepanjang kehidupan seseorang. Dalarn pikiran anak didik ditanamikan sikap "agar aku bisa menang, orang lain harus kalah." Tidak jarang sikap semacam ini terbawa terus sesudah sese¬orang lulus dari sekolah. Akibatnya, tempat kerja merupakan kelanjutan dari arena persaingan yang diciptakan di sekolah. Padahal, untuk bisa berhasil, setiap organisasi harus bisa men¬ciptakan suasana kerja sama antara anggotanya. Dan keber¬hasilan suatu organisasi juga berarti keberhasilan pribadi para anggota. Tetapi tidak mudah untuk bersikap "biarkan orang lain menang supaya aku juga bisa menang," setelah digembleng dalam suasana persaingan selama kurang lebih dua belas tahun.
Sikap "agar aku bisa menang, orang lain harus kalah," erat hubungannya dengan prinsip "tujuan menghalalkan segala cara." Seseorang yang begitu berambisius untuk menang, tapi merasa tidak bisa mengalahkan pesaingnya bisa tergoda untuk menjatuhkan pesaingnya dengan cara apa pun. Ada terlalu banyak contoh dalam kehidupan sehari hari yang mencerminkan cara cara keji dan licik dalam memenangkan persaingan.
Sayangnya, model kompetisi masih dominan di banyak sekolah. Malah dalam pikiran banyak pendidik, model ini merupakan satu satunya yang bisa dipakai. Sebagian besar anak didik harus puas dengan predikat "rata rata" dan beberapa anak harus dianggap "gagal agar segelintir anak bisa mendapat predikat "berprestasi." Para pendidik ini tidak bisa disalahkan karena politik pendidikan membuat mereka berpikiran begitu.
Salah satu falsafah yang mendasari semangat kompetisi adalah Teori Evolusi Darwin. Teori ini mengatakan bahwa siapa yang kuat adalah siapa yang menang dan bertahan dalam ke¬hidupan. Dengan kata lain, untuk bisa tetap bertahan, makhluk hidup termasuk manusia harus bisa berjuang memenangkan persaingan dengan sesama makhluk hidup yang lain dan merebut sumber daya hidup yang biasanya tersedia secara terbatas. Prinsip homo homini lupus atau survival of the fittest ini banyak tercermin dalam kehidupan sehari sehari. Di sekolah maupun di tempat kerja, mulai dari tingkat yang paling bawah sampai tingkat eksekutif. banyak terjadi ilgal menjegal; "agar aku bisa menduduki kursi direktur, aku harus bisa menjatuhkan direktur yang sekarang dengan cara bagaimanapun."
2. Model Individual.
Di dalam ruang kelas, pola penilaian dalam sistem pengajaran individual berbeda dengan pola penilaian dalam sistem kompetisi. Dalam model pengajaran individual, pengajar menetapkan standar untuk setiap siswa. Jika siswa tersebut men-capai atau melampaui standar, dia akan mendapatkan nilai A. Jika tidak, dia akan mendapat nilai C atau D. Jadi, nilai seorang sisa tidak ditentukan oleh nilai rata rata atau teman sekelas, melaikan oleh usaha diri sendiri dan standar yang ditetapkan oleh pengajar.
Di Indonesia, model pembelajaran individual belum diadopsi di jalur pendidikan formal, kecuali di Universitas Terbuka dengan sistem modulnya. Di luar jalur pendidikan formal, model pem¬belajaran individual dipakai pada paket paket belajar jarak jauh (Distance learning) dan di pusat pusat studi bahasa asing yang lebih dikenal dengan nama learning center atau self access center.
Asumsi yang mendasari sistem pengajaran individual adalah bahwa setiap siswa bisa belajar sendiri tanpa atau dengan sedikit bantuan dari pengajar. Maka dari itu, setiap siswa diberi paket¬-paket pelajaran yang sudah terprogram untuk kebutuhan individu mereka. Dengan demikian, diharapkan sistern ini bisa mengurangi beban pengajar. Tetapi dalam prakteknya, siswa masih rnembutuhkan bantuan pengajar dan interaksi dengan sesama siswa. Tidak mungkin bagi seorang pengajar dengan lebih dari satu siswa untuk benar benar menerapkan sistem pengajaran individu, karena ini berarti pengajar tersebut harus memper¬hatikan prestasi, minat, bakat, gaya belajar, kecepatan belaiar, dan banyak hal lain yang menyangkut kepribadian setiap siswa.
Asumsi yang lainnya menyatakan bahwa setiap anak didik adalah unik dengan segala kebiasaan, kemampuan, minat, dan bakatnya yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Maka dari itu, setiap anak didik perlu mendapat perhatian dan kesempatan khusus untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Model pengajaran individual memang sesuai dengan sifat orang Barat yang menghargai individualisme. Setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri dan harus memper¬juangkan nasibnya sendiri. Tidak ada orang yang bisa membantu, dan sebaliknya tidak perlu merepotkan diri membantu orang lain. Falsafah yang mendasari sikap individualisme diajarkan oleh tokoh tokoh sastra dan filsafat Amerika di abad 19. Ralph Emerson don Henry David Thoreau mengajarkan sikap “percayailah dirimu sendiri" dan "jangan pedulikan omongan banyak orang." Pengagum Emerson don Thoreou adalah penyair Wait Whitman yang merayakan kebebasan pribadinya dan memuja dirinya sendiri dalam banyak puisinya.
Tampaknya, model pengajaran individual lebih menarik dibandingkan dengan sistem kompetisi. Anak didik bisa diharap¬kan belajar sesuai dengan kemampuan mereka sendiri dan bebas dari stres yang mewarnai sistem kompetisi. Tetapi jika sikap individual tertanam dalam jiwa anak didik, kemungkinan besar mereka akan mengalami kesulitan untuk hidup bermasya¬rakat. Mereka tidak bisa terus menerus mengharapkan masya¬rakat untuk memberi perhatian khusus pada keunikan mereka seperti yang telah mereka peroleh dalam pendidikan individual. Sering mereka juga dituntut untuk bisa beradaptasi dengan situasi situasi dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan kebiasaan. minat, maupun kemampuan mereka.
3. Model Cooperative Learning
Falsafah yang mendasari model pembelajaran gotong royong dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Ber¬lawanan dengan Teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan ke-butuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah. Tanpa kerja sama, buku ini tidak akan bisa di¬terbitkan. Tanpa kerja sama, kehidupan ini sudah punah.
Ironisnya, model pembelajiaran cooperative learning belum banyak diterapkan dalam pendidikan, walaupun orang Indo¬nesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan pengajar enggan menerapkan sistem kerjia sama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatian bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam grup. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar dalam kelompok. Banyak siswa juga tidak senang disuruh bekerja sama dengan yang lain. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam grup mere¬ka, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam grup dengan siswa yang lebih pandai.
Siswa yang tekun juga merasa temannya yang kurang mampu hanya nunut saja pada hasil jerih payah mereka. Kesan negatif mengenai kegiatan bekerja/belajar dalam kelompok ini juga bisa timbul karena ada perasaan was was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok. Sebenarnya, pembagian kerja yang kurang adil tidak perlu terjadi dalam kerja kelompok, jika pengajar benar benar me¬nerapkan prosedur model pembelajaran cooperative learning. Banyak pengajar hanya membagi siswa dalam kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa pedoman mengenai pembagian tugas. Akibatnya, siswa merasa ditinggal sendiri dan, karena mereka belum berpengalaman, merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerja sama menyelesai¬kan tugas tersebut. Kekacauan dan kegaduhanlah yang terjadi. Model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekadar belajiar dalam kelompok. Ada unsur unsur dasar pembelaiaran cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal asalan. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.
Sehingga esensialnya bahwa semua model mengajar ditandai dengan adanya Struktur Tugas, Struktur Tujuan dan Struktur Penghargaan (Reward).



B. Pengertian Cooperative Learning
Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan (Karen L.Medsker and Kristina M. Holdsworth, 2001,h.287)
Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda (Slavin, 1994), dan ada yang menggunakan ukuran kelompok yang berbeda-beda (Cohen, 1986; Johnson & Johnson, 1994; Kagan, 1992; Sharan & Sharan, 1992).
Khas Cooperative Learning yaitu siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kooperatif dan tinggal bersama dalam satu kelompok untuk beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebelumnya siswa tersebut diberi penjelasan atau diberi pelatihan tentang bagaimana dapat bekerja sama yang baik dalam hal:
- Bagaimana menjadi pendengar yang baik
- Bagaimana memberi penjelasan yang baik
- Bagaimana cara mengajukan pertanyaan dengan benar dan lain-lainnya.
Aktivitas Cooperative Learning dapat memaikan banyak peran dalam pelajaran. Dalam pelajaran tertentu Cooperative Learning dapat digunakan 3 (tiga) tujuan berbeda yaitu: Dalam pelajaran tertentu siswa sebagai kelompok yang berupaya untuk menemukan sesuatu, kemudian setelah jam pelajaran habis siswa dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi dan setelah itu siswa akan mendapat kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai segala sesuatu yang telah dipelajarinya untuk persiapan kuis, bekerja dalam suatu format belajar kelompok.

C. UNSUR-UNSUR MODEL PEMBELAJARAN COOPERARTIVE LEARNING.
Pengajaran harus dirancang secara berhati-hati sehingga setiap partisipan terlibat dalam proyek pengajaran dengan mengambil peranan yang berbeda seperti peranan pemimpin, misalnya pengajar harus menyusun kelompok-kelompok kecil sehingga semua partisipan menggunakan peranan kepemimpinan dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan bersama (Johnson, 1993).
Para pebelajar selanjutnya merasakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan-tujuannya, jika pebelajar lainnya gagal, sebuah persepsi yang seringkali dihasilkan dalam beberapa diri pebelajar yang menganggap pelajaran mudah, karena mereka yakin mereka tidak memiliki kesempatan untuk menang (Deutsch, 1962). Evaluasi pembelajaran dalam lingkungan semacam ini adalah tidak memuaskan karena prestasi partisipan dinilai melalui cara-cara referensi norma.
Ketika pembelajaran berlangsung dalam lingkungan individual, para partisipan terlihat bekerja sendiri untuk menyelesaikan tujuan-tujuannya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan teman sekelas lainnya. Meskipun lingkungan ini kondusif untuk mengevaluasi kinerja berdasarkan basis referensi kriterium, kenyataannya bahwa tujuan-tujuan pebelajar bersifat independen yang berkontribusi terhadap persepsi-persepsi pebelajar bahwa pencapaian tujuan-tujuannya tidak berhubungan dengan apa yang dilakukan oleh para partisipan. Dalam kasus ini, kesempatan untuk bertumbuh melalui cara-cara kolaboratif hilang.
Ketika pembelajaran kooperatif apa yang dibutuhkan oleh pengajar adalah menyusun pelatihan sehingga anggota-anggota dari kelompok-kelompok kecil yakin merupakan hasil bersama. Lebih lanjut, petunjuk seharusnya diberikan kepada kelompok-kelompok yang anggota-anggotanya mendapatkan pencapaian dari usaha-usaha anggota lainnya—bahwa anggota-anggota kelompok perlu membantu dan mendukung anggota-anggota lainnya untuk mendapatkan hasul yang ingin dicapai. Untuk melakukan hal tersebut, setiap anggota kelompok secara individual membagi akuntabilitas bersama untuk melakukan bagian pekerjaan kelompoknya. Akuntabilitas tersebut bergantung pada penguasan masing-masing anggota tim terhadap keterampilan-keterampilan kelompok kecil dan antarpribadi yang dibutuhkan untuk menjadi anggota kelompok yang efektif. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah kemampuan untuk membahas seberapa baik kelompok bekerja dan apa yang dapat dikerjakan untuk meningkatkan pekerjaan kelompok (Johnson, 1991).
Dalam hal ini, pembelajaran kooperatif nampak merupakan pendekatan filosofis, apa yang dinyatakan secara kuat oleh pembelajaran kooperatif adalah bahwa para pengajar memahami komponen-komponen yang membuat kerjasama itu berjalan. Menurut Johnson & Johnson, dan Sharan, komponen-komponen penting dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
1. Ketergantungan positif
2. Interaksi promotif langsung
3. Akuntabilitas individual dan kelompok
4. Keterampilan-keterampilan antarpribadi dan kelompok kecil
5. Pemrosesan kelompok
Ketergantungan Positif. Ketergantungan positif berlangsung ketika anggota-anggota kelompok merasakan bahwa mereka berhubungan dengan satu sama lainnya dalam suatu cara dimana seseorang tidak dapat mengerjakannya kecuali bekerja bersama. Anggota-anggota kelompok-kelompok kecil berada dalam perahu yang sama. Pada saat berlayar, kru perahu perlu menyadari bahwa mereka akan tenggelam dan berenang bersama-sama. Pengajar harus merancang dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan dan tugas-tugas kelompok dalam cara-cara yang membantu anggota-anggota kelompok untuk mencapai pemahaman tersebut. Selanjutnya masing-masing anggota kelompok memiliki kontribusi yang unik untuk melakukan usaha bersama. Pengajar seharusnya mendefinisikan secara jelas peranan kelompok dan tanggungjawab tugas dan mengacu pada kekuatan-kekuatan individu anggota.
Interaksi Promotif Langsung. Para pebelajar perlu melakukan kerjasama nyata dalam waktu nyata, baik pada ruang pelatihan maupun pada pertemuan-pertemuan di luar ruangan. Selanjutnya, pemrosesan informasi dalam pekerjaan terhadap pencapaian sebuah tujuan, anggota-anggota kelompok harus meningkatkan keberhasilan satu sama lainnya dengan menyediakan sumbedaya dan bantuan bersama, mendukung, menganjurkan, dan menghargai usaha-usaha anggota-anggota kelompok lainnya. Pengajar seharusnya memberikan contoh-contoh bagaimana kelompok-kelompok seharusnya berfungsi, seperti menjelaskan secara lisan bagaimana memecahkan masalah-masalah, mengajarkan pengetahuan kepada anggota lainnya, memeriksa pemahaman, membahas konsep-konsep yang dipelajari, dan menghubungkan pembelajaran saat ini dengan pembelajaran masa lalu. Dengan melakukan hal tersebut, dinamika-dinamika antarpribadi akan memudahkan pembelajaran. Melalui peningkatkan pembelajaran langsung satu sama lainnya, anggota-anggota kelompok memberikan komitmen secara personal kepada anggota-anggota kelompok lainnya dan juga tujuan-tujuan bersamanya.
Akuntabiliras Individual dan Kelompok. Para pendukung pembelajaran kooperatif menyatakan bahwa dua tingkatan akuntabilitas disusun menjadi pelajaran-pelajaran pembelajaran kooperatif. Kelompok harus bertanggungjawab atas pencapaian tujuan-tujuannya, dan masing-masing anggota harus bertanggungjawab dalam memberikan kontribusi pekerjaannya. Fasilitator meningkatkan akuntabilitas individual dengan menilai prestasi dari masing-masing individual agar dapat memastikan siapa yang membutuhkan lebih banyak bantuan, dukungan, dan anjuran dalam pembelajaran. Pengajar harus mengakui bahwa salah satu tujuan dari kelompok-kelompok pembelajaran kooperatif adalah memberikan hak individual yang lebih kuat—para siswa belajar bersama sehingga mereka dapat mencapai kompetensi individual yang lebih besar.
Keterampilan-keterampilan Antarpribadi dan Kelompok Kecil. Pembelajaran kooperatif adalah lebih kompleks dibandingkan dengan interaksi kelompok tidak terstruktur, yang biasanya menimbulkan pembelajaran kompetitif atau individual karena para siswa harus ikut serta secara simultan dalam pekerjaan tugas (mempelajari mata pelajaran) dan kerjasama (pemfungsian secara efektif sebagai sebuah kelompok). Selanjutnya, para fasilitator dari pembelajaran kooperatif harus fokus pada keterampilan-keterampilan sosial yang harus diajarkan dengan tujuan dan tepat.
Kepemimpinan, pembuatan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, dan keterampilan manajemen konflik memungkinkan bagaimana bekerjasama dan mengerjakan tugas dengan baik, dan ini perlu disampaikan selama pengajaran. Karena kerjasama dan konflik adalah penting secara konstruktif untuk keberhasilan jangka panjang kelompok-kelompok pembelajaran (Johnson & Johnson, 1989; Johnson, 1991).
Pemrosesan Kelompok. Sebagian besar proses-proses pengajaran menekankan pentingnya penyampaian kandungan pengajaran secara efisien. Tujuan-tujuan yang ditentukan secara jelas, urutan logis, dan kondisi-kondisi pembelajaran yang semuanya menentukan seberapa baik bahan ajar akan dipelajari. Artinya, kemampuan-kemampuan kepemimpinan, membangun kepercayaan, dan komunikasi dapat diajarkan secara langsung (pekerjaan tugas): yaitu, keterampilan-keterampilan tersebut dapat dialami dalam sebuah kelompok kecil (pekerjaan tugas). Kelompok-kelompok perlu menjelaskan apakah tindakan-tindakan anggota kelompok yang membantu dan tidak membantu dan membuat keputusan-keputusan tentang perilaku-perilaku apa yang diteruskan atau dirubah. Proses pembelajaran adalah peningkatan yang berkelanjutan ketika anggota-anggota kelompok menganalisis seberapa baik mereka bekerjasama, dan bagi kelompok-kelompok kecil untuk mencapai sebuah tujuan pengajaran dengan baik, dimana mereka harus menempatkan prosesnya secara sadar.
Pendapat lain dari Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok dapat dianggap cooperative leaming. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan.
1. Saling ketergantungan Positif.
2. Tanggung Jawab Perseorangan.
3. Tatap Muka.
4. Kornunikasi Antar Anggota.
5. Evaluasi Proses Kelompok.
D. PETUNJUK DAN LANGKAH-LANGKAH.
Tabel: 1, Langkah-langkah berdasarkan komponen Cooperative Learning

\ KEGIATAN
1 Memilih tugas-tugas yang tepat Perancang kursus seharusnya memastikan apakah aplikasi, praktek, atau bagian pengajaran merupakan hal yang tepat untuk aktivitas kelompok. Aspek-aspek sosial dari muatan pengajaran harus ditunjukkan. Misalnya, pengajaran bahasa asing seharusnya memberi kesempatan untuk membicarakan bahasa dengan orang lain dalam sebuah kelompok. Menulis sebuah makalah dalam bahasa baru adalah aktivitas individual
2 Menentukan Ketergantungan Positif Apabila aktivitas kelompok adalah penting untuk mempelajari keterampilan atau hal baru, maka pengajar harus menyatakan secara jelas bahwa anggota-anggota kelompok “tenggelam” bersama-sama. Hasil-hasil dari pekerjaannya adalah sebuah refleksi dari semua kontribusi anggota tim.
3 Memfasilitasikan kerjasama kooperatif Pengajar harus mendukung kelompok untuk menemukan kekuatan-kekuatan yang unik dari masing-masing kelompok. Untuk kelompok yang berhasil, pekerjaan harus menunjukkan kekuatan-kekuatan dari semua anggotanya
NO TAHAP-TAHAP KEGIATAN
4 Memberikan interaksi promotif langsung Waktu yang memadai harus diberikan dalam periode pengajaran interaksi langsung. Pengajar:
• seharusnya menunjukkan/menjelaskan norma-norma kelompok yang dapat diterima oleh kelompoknya atau
• memberikan gambaran-gambaran dari pengalaman.
Sebaliknya, pengajar menyatakan:
• harapan-harapan tentang apa yang di masukkan dalam pertemuan, seperti pembagian pengetahuan, pengalaman, dan hadiah.
5 Menentukan akuntabilitas individu dan kelompok Fasilitator seharusnya mengembangkan:
• cara untuk mengevaluasi kinerja individual dan pekerjaan kelompok.
• menyampaikan bagaimana pekerjaan kelompok akan dinilai.
• Evaluasi kelompok bisa merupakan skor-skor individual.
6 Menilai pekerjaan tugas dan kerjasama Waktu harus diberikan pada anggota-anggota kelompok kecil untuk membahas prosesnya, mungkin pada akhir pertemuan kelompok. Anggota tim men-jelaskan
• Tujuan pertemuan.
• Dimana mereka menyelesaikan tujuan,
• Apa yang dikerjakan dengan baik dan apa yang akan dikerjakan secara berbeda
• Membuat rencana untuk memasukkan umpanbalik pada pertemuan berikutnya
Pendapat lain mengungkap tentang langkah-langkah dalam Cooperative Learning adalah:
NO LANGKAH-LANGKAH TINGKAH LAKU GURU
1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Pengajar menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa belajar
2 Menyajikan informasi Pengajar menyajikan informasi pada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar Pengajar menjelaskan pada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Pengajar membimbingkelompok belajar pada saat siswa mengerjakan tugas
5 Evaluasi Pengajar meng-evaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasi- kan hasil kerjanya.
6 Memberikan penghargaan Pengajar mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
Tabel: 2, Langkah-langkah Cooperative Learning


E. PENGELOLAAN KELAS COOPERATIVE LEARNING.
Seperti telah diungkapkan, tidak semua kera kelompok bisa dianggap sama dengan model pembelajaran Cooperative Learning. Ada lima unsur seperti yang telah dibahas pada bab terdahulu yang membedakan model pembelajaran gotong royong dengan kerja kelompok biasa. Untuk memenuhi kelima unsur,tersebut memang dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat (will and skill) para anggota kelompok. Para pembelajar harus, mempunyai niat untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegiatan belajar Cooperative Learning yang akan saling menguntungkan. Selain niat, para pembelajar juga harus menguasai kiat kiat berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
Niat dan kiat ini tidak diperoleh dalam sekejap saja seperti Cinderella yang mendapatkan impiannya dalam semalam. Untungnya juga, karena bukan merupakan hasil sulap, setiap siswa bisa dibina untuk mempunyai niat dan kiat ini. Pengelolaan kelas model Cooperative Learning yang bertujuan untuk membina pembelajar dalam mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengan pembelajar yang lainnya. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model Cooperative Learning, yakni pengelompokan, semangat Cooperative Learning, dan penataan ruang kelas.
1. PENGELOMPOKAN
Ability grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktek ini bisa dilakukan pada pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu sekolah. Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok siswa lemah. Atau ada kelas kelas unggulan dan ada pula kelas¬ kelas terbelakang di dalam satu sekolah. Praktek praktek ini malah sering menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia maupun di luar negeri yang ingin menonjolkan kelas khusus mereka yang terdiri dari dari anak¬anak cerdas dan berbakat.
Pengelompokan homogen berdasarkan prestasi belajar sangat disukai karena tampaknya memang bermanfaat, yaitu:
Pertama, pengelompokan cara ini sangat praktis dan mudah dilakukan secara administratif. Sebagai contoh, di tingkat perguruan tinggi kadangkala dibuka beberapa kelas paralel untuk satu mata kuliah karena ada banyak mahasiswa yang perlu mengambil mata kuliah tersebut. Pada saat pendaftaran, mahasiswa harus memilih kelas paralel mana yang ingin diambil. Entah karena perbedaan dosen atau jadwal, salah satu kelas paralel bisa saja menjadi sangat diminati. Akibatnya, ada jauh lebih banyak mahasiswa yang mendaftar untuk masuk daripada yang bisa ditampung didalam kelas kelas tersebut. Oleh karena itu, pihak administrasi mengadakan seleksi dengan bantuan komputer berdasarkan indeks prestasi mahasiswa. Akibat dari seleksi ini tentu saja adalah kelas kelas yang relatif homogen. Kebijaksanaan administrasi ini memang paling praktis dan mudah.
Selanjutnya, pengelompokan homogen berdasorkon hasil prestasi dilakukan untuk memudahkan pengajaran. Guru memang menghadapi tantangan yang lebih besaor dalam rnengajar siswa yang berlainan kemampuan belajarnya dalam satu kelompok atau kelas. Jika mengajar terlaiu cepat, Siswa yang lamban akan tertinggal. Sebaliknya, jika terialu lambat siswa cerdas akan bosan dan akhirnya mengabaikan atau mengacau kelas. Maka dari itu, pengelompokan homogen dianggap bisa me¬nyelesaikan masalah pengajaran.
Kedua, dengan hal tersebut di atas, beberapa sekolah dengan sengaja membuka kelas unggulan khusus. Kelas ini terdiri dari siswa siswa cerdas dan berbakat. Kelas unggulan ini mendapatkan kurikulum plus dan nilai tambah dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa pengajaran dan pelatihan tambahan. Tujuan dari pelaksanaan ini adalah untuk menonjolkan keunggulan yang mereka miliki.
Dibalik segala manfaatnya, pengelompokan homogen ternyata mempunyai banyak dampak negatif. Para pakar dan peneliti pendidikan mulai menyoroti praktek ini dalam dekade terakhir dan menyarankan agar praktik ini tidak diteruskan lagi karena dampak dampak negatifnya.
Yang pertama tama, praktek ini jelas bertentangan dengan misi pendidikan. Pengelompokan berdasarkan kemampuan sama dengan memberikan cap atau label pada tiap tiap peserta didik. Label ini bisa menjadi vonis yang diberikan terlalu dini, terutarna bagi peserta didik yang dimasukkan dalam kelompok yang kurang mampu. Padahal, pe¬nilaian guru pada saat membuat keputusan dalam pengelompokan belum tentu benar dan tidak mungkin bisa mencerminkan ke¬mampuan siswa yang sesungguhnya dan menyeluruh. Label ini juga bisa menjadi self fulfilling prophecy (ramalan yang menjadi kenyataan). Karena dimasukkan dalam kelompok yang lemah, seorang siswa bisa merasa tidak mampu, patah semangat, dan tidak mau berusaha lagi.
Yang kedua, pakar pendidikan John Dewey mengatakan bahwa sekolah seharusnya menjadi miniatur masyarakat. Maka dari itu, sekolah atau ruang kelas sejauh mungkin perlu men¬cerminkan keanekaragarnan dalam masyarakat. Dalam masya¬rakat, berbagai macam manusia dengan tingkatan kemampuan dan keterbatasan yang berbeda beda saling berinteraksi, bersaing, dan bekerja sama. Selama masa pendidikan sekolah, seorang peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan dalam masyarakat ini.
Menurut Scott Gordon dalam bukunya History and Philosophy of Social Science (1991), pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Namun, pengelompokan dengan orang lain yang sepadan dan serupa ini bisa menghilangkan kesempatan anggota kelompok untuk memperluas wawasan dan memper¬kaya diri, karena dalam kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.
Pengelompokan heterogenitas (kemacam ragaman) merupakan ciri ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran gotong royong. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosio¬ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelaiaran Cooperative Learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, duaorang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.
Secara umum, kelompok heterogen disukai oleh para guru yang telah memakai metode pembelajaran Cooperative Lear¬ning karena beberapa alasan.
a. Kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung.
b. Kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antara, etnik, dan gender.
c. Kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang.
Salah satu kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan heterogen adalah keberatan dari pihak siswa yang berkemampuan akademis tinggi (atau orang tua mereka pada tingkat sekolah dasar). Siswa dari kelompok ini bisa merasa “rugi" dan dimanfaatkan tanpa bisa mengambil manfaat apa¬-apa dalam kegiatan belajar Cooperative Learning, karena rekan-¬rekan mereka dalam kelompok tidak lebih pandai dari mereka. Tidak jarang, protes ini juga disampaikan kepada guru baik secara langsung maupun tidak. Kepada siswa maupun orang tua semacam ini, perlu dijelaskan bahwa sebenamya siswa dengan kemampuan akademis tinggi pun akan menarik manfaat secara kognitif maupun afektif dalam kegiatan belajar Cooperative Learning bersama siswa siswa lain dengan kemampuan yang kurang. Mengajar adalah guru yang terbaik. Dengan mengajar¬kan apa yang seseorang baru pelajari, dia akan lebih bisa me¬nguasai atau menginternalisasi pengetahuan dan keterampilan barunya. Secara afektif, siswa berkemampuan akademis tinggi juga perlu melatih diri untuk bisa bekerja sama dan berbagi dengan mereka yang kurang. Kermampuan bekerja sama ini akan sangat bermanfaat nantinya dalam dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat.
Pengelompokan bisa sering diubah (untuk setiap kegiatan) atau dibuat agak permanen, misalnya siswa tetap dalam kelompok yang sama selama satu caturwulan atau semester. Masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Jika kelompok sering diubah, siswa akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan siswa siswa yang lainnya. Namun, membentuk kelompok kelompok baru ini akan me¬makan waktu, baik itu waktu persiapan maupun waktu di kelas. Salah satgu cara untuk membentuk kelompok non permanen dengon seefisien mungkin adalah dengan Jam Perjanjian (FACETS five, 1994).
Jam Perjanjian. adalah cara membentuk kelompok berpasangan, bertiga, ataupun berempat dengan relatif cepat. Jam ini bisa dipakai terus sepanjang tahun ajaran. Guru bisa mengubah komposisi kelompok dengan cepat dan siswapun menyukainya karena mereka bisa ikut memutuskan dengan siapa mereka membuat janji,dan bertanya tanya siapa pasangan berikutnya. Semua siswa harus mempunyai Jam Perianjian seperti dibawah ini.
Untuk membentuk kelompok berpasangan, setiap siswa keliling kelas mencari pasangan untuk setiap jamnya. Siswa me¬ngisi jam yang sama bersama sama. Contoh: guru memberi¬tahu siswa untuk mencari pasangan jam 1:00. Siswa menulis nama pasangannya di tempat yang tersedia. Contoh: Jika ada dua orang siswa yang setuju menjadi pasangan jam 1:00, Masing masing menulis nama pasangannya pada garis jam 1.00. Setelah selesai, mereka disuruh mencari pasangan jam: 2.00 dan seterusnya.
Jam Perjanjian ini juga bisa digunakan untuk membentuk kelompok bertiga, berempat, atau berlima. Untuk membentuk kelompok bertiga, siswa mencari dua orang rekan untuk setiap jamnya. Dan untuk kelompok berempat, diperlukan tiga orang rekan. Demikian seterusnya. Jam Perjanjian ini juga bisa meng¬kombinasikan lebih dari satu jenis kelompok. Misalnya, pukul 1:00 sampai dengan 6:00 untuk membentuk kelompok ber¬pasangan, sedangkan pukul 7:00 sampai dengan 12:00 untuk membentuk kelompok bertiga. Jumlah anggota dalam suatu kelompok tentunya juga ditentukan oleh tingkat kesukaran suatu tugas yang sedang dikerjakan. Guru bisa dengan mudah membentuk kelompok yang berganti ganti sepanjang tahun ajaran. Guru hanya perlu menyebutkan, misalnya, "Untuk tugas kali ini, kalian akan bekerja sama dengan kelompok pukul 9:00."
Kelompok yang lebih permanen akan sangat menghemat waktu, memudahkan pengelolaan kelas, dan meningkatkan semangat gotong royong karena siswa sudah saling mengenal dengan cukup baik dan terbiasa dengan cara belajar rekan-rekannya yang lain. Kekurangannya adalah siswa bisa merasa bosan dan perselisihan juga mungkin saja terjadi. Selain itu, kesempatan untuk berinteraksi dengan yang lain menjadi ber¬kurang. Kekurangan yang terakhir ini bisa diatasi dengan be¬berapa metode, seperti Lingkaran Besar Lingkaran Kecil, Dua Tinggal Dua Tamu dan Keliling Kelas (Lihat Bab berikutnya).
Jumlah anggota dalam satu kelompok bervariasi mulai dari 2 s/d 5 menurut kesukaan guru dan kepentingan tugas. Tentu saja, masing-masing mempunyai mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Tabel: 3, Kelebihan dan Kekurangan Variasi Kelompok Cooperative Learning
VARIASI KELOMPOK KELEBIHAN KEKURANGAN
Kelompok
Berpasangan •Meningkatkan partisipasi
• cocok untuk tugas sederhana
• Lebih banyak kesempatan
untuk kontribusi masing¬
masing,anggota kelompok
• Interaksi lebih mudah
• Lebih mudah dan cepat
membentuknya • banyak kelompok yang akan melapor dan dimonitor
• lebih sedikit ide yang muncul
• Jika ada perselisihan, tidak ada penenga
Kelompok
Bertiga • Jumlah ganjil; ada penengah
• Lebih banyak kesempatan untuk kontribusi masing-masing anggota kelompok.
• Interaksi lebih mudah • Banyak kelompok yang akan melapor dan dimonitor
• Lebih sedikit ide yang muncul
• Lebih mudah dan cepat membentuknya
Kelompok
Berempat • Mudah dipecah menjadi berpasangan
• Lebih banyak ide muncul
• Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan
• Guru mudah memonitor • Butuh banyak waktu
• Butuh sosialisasi yang lebih baik
• Jumlah genap me-nyulitkan pengambilan suara
• Kurang kesempatan untuk kontribusi individu
• Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak memperhatikan
Kelompok
Berlima • Jumlah ganjil memudahkan proses pengambilan suara
• Lebih banyak ide muncul
• Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan
• Guru mudah memonitor kontribusi • Membutuhkan lebih banyak waktu
• Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik
• Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak memperhatikan
• Kurang kesempatan untuk individu
2. SEMANGAT GOTONG ROYONG.
Dalam proses pembelajaran ini, agar berjalan secara efektif maka semua anggota kelompok hendaknya mempunyai semangat bergotong royong yaitu dengan cara membina niat dan semangat dalam bekerja sama yaitu dengan beberapa cara:
a. Kesamaan Kelompok.
Kelompok akan merasa bersatu apabila diantara anggota kelompok menyadari kesamaan, bukan berarti harus menyeragamkan semua keinginan, minat serta kemampuannya akan tetapi persamaan merupakan suatu keunikan dalam kelompok tersebut. Beberapa kegiatan dapat dilakukan agar setiap anggota kelompok mendapat kesempatan mengenal satu dengan yang lain lebih akrab dan dapat diterima sebagai anggota kelompok tersebut.
1. Wawancara Kelompok
Siswa mewawancarai satu sama lain mengenai banyak hal, seperti arti nama mereka, cita cita dan impian, saudara, makanan kesukaan, jenis olah raga kesukaan, binatang peliharaan dan sebagainya. Jika perlu, guru juga bisa mengarahkan siswa dengan jenis pertanyaan yang bisa dipakai dalam wawancara. Dalam kegiatan ini, siswa saling memperkenalkan temannya setelah melakukan kegiatan yang pertama (Wawancara Kelompok). Anggota kelompok duduk melingkar. Salah satu siswa mulai dengan memperkenalkan teman yang duduk di sebelah kirinya.
2. Lempar Bola
Anggota kelompok duduk melingkar. Salah satu siswa me¬megang, bola kecil (bisa juga dibuat dari meremas kertas buram) dan melemparkannya ke salah satu temannya. Setelah me¬lempar, siswa tersebut menanyakan beberapa hal, misalnya "Siapa tokoh yang paling kamu kagumi?" Setelah siswa kedua menjawab, dia akan melempar bola ke temannya yang lain dan menanyakan. Keunikan dan perbedaan masing masing siswa yang harus dihargai, pasti ada beberapa persamaan di antara mereka dalam satu kelompok. Setelah kegiatan kegiatan perkenalan, para anggota kelompok bisa mencari kesamaan di antara mereka. Proses ini bisa dilaksanakan untuk mencari identitas kelompok. Masing masing kelompok bisa mencari persamaan dalam kelompok mereka sendiri yang tidak dimiliki oleh kelompok yang lain. Salah satu kegiatan untuk mencari kesamaan ini adalah Jendela Kesamaan (Kagan, 1992).
3. Jendela Kesamaan
Kegiatan ini bisa dilakukan dalam kelompok berempat. Salah satu siswa menggambar empat persegi panjang di tengah tengah selembar kertas. Siswa kedua menarik garis dari sudut kertas ke sudut persegi panjang yang berdekatan. Siswa berikutnya me¬neruskan dengan sudut yang lain sampai semua sudut dihubung¬kan. Keempat bagian diberi nomor 1, 2, 3, don 4 (Lihat gambar).
Siswa pertama mulai menanyakan sesuatu yang mungkin menjadi kesamaan dengan yang lain, misalnya “ Apakah kita semua suka bermain layang-layang ? ". Bila keempat anggota mengatakan “Ya” maka siswa yang menanyakan tersebut menuliskan “Main Layang-layang pada bagian 4 dan bila yang menjawab “Ya” hanya 2 maka ditulis dibagian 2. Kemudian siswa berikutnya menanyakan pertanyaan lain seperti telah dilakukan siswa pertama dan melakukannya hal yang sama. Proses ini diteruskan sampai menemukan kesamaan diantara anggota kelompok, juga menemukan. Selanjutnya, mereka menentukan satu ke¬samaan yang tidak dimiliki oleh kelompok lain dan menuliskannya kesamaan tersebut pada kertas dibagian tengah tersebut.
b. Identitas Kelompok.
Atas dasar kesamaan tersebut diatas, selanjutnya menentukan nama kelompok yang disepakati bersama antara anggota kelompok (keputusan tidak boleh dibuat apabila salah satu anggota kelompok ada yang tidak setuju). Sebagai tambahan menghibur (biasanya disukai oleh anak-anak sekolah dasar), masing-masing kelompok membuat atribut yang menyatukan kelompoknya tanpa mengorbankan keunikan masing-masing. Atribut yang dibuat tidak harus sama akan tetapi mempunyai ciri-ciri yang sama pada atribut tersebut. Misalnya dengan membuat topi dari karton atau yang lainnya.
c. Sapaan dan Sorak Kelompok
Untuk lebih memperat hubungan dalam kelompok, siswa bisa disuruh menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Menyapa tidak harus dengan berjabat tangan. Siswa bisa di¬dorong mengembangkan kreativitas mereka dengan mencipta¬kan cara menyapa rekan rekan dalam satu kelompok yang disesuaikan dengan identitas kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak kelompok. Siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah, misalnya "Hebat... hebat... hebat... sehebat Einstein!”.
Sapaan dan sorak kelompok ini bisa dipakai berulang ulang selama tahun ajaran untuk beberapa keperluan. Kelompok bisa memberi semangat salah satu rekannya yang dipanggil maju oleh guru. Ada kalanya pula suasana kelas menjadi jenuh dan membosankan. Dalam saat saat seperti ini, guru bisa mem-bangunkan siswa siswa yang mengantuk dan menghidupkan semangat belajar siswa dengan meluangkan beberapa detik sajia untuk sapaan dan sorak kelompok.
3. PENATAAN RUANG KELAS
Penataan ruang yang klasikal dengan semua bangku menghadap ke satu arah (guru dan papan tulis) sangat sesuai dengan metode ceramah. Metode ini guru berperan sebagai nara sumber yang utama, atau mungkin juga satu satunya. Metode lain siswa juga bisa belajar dari sesama teman dan guru berperan sebagai fasilitator. Tentu saja, ruang kelas juga ditata untuk menunjang pembelajaran Cooperative Learning. Dalam hal ini keputusan guru dalam penataan ruang disesuaikan dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Ukuran ruang kelas.
b. Jumlah siswa.
c. Tingkat kedewasaan siswa.
d. Toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa.
e. Toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa lain.
f. Pengalaman guru dalam melaksanakan metode pembelajaran gotong royong.
g. Pengalaman siswa dalam melaksanakan metode pembelajaran gotong royong.
F. TEKNIK-TEKNIK PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING.
Sebagai seorang profesional, guru harus mempunyai penge¬tahuan dan persediaan strategi strategi pembelajaran. Tidak semua strategi yang diketahuinya harus dan bisa diterapkan dalam kenyataan sehari hari di ruang kelas. Meski demikian, guru yang baik tidak akan terpaku pada satu strategi saja. Guru Yang ingin maju dan berkembang perlu mempunyai persediaan strategi dan teknik teknik pembelajaran yang pasti akan selalu bermanfaat dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehari hari. Guru bisa memilih dan juga memodifikasi sendiri teknik teknik pada situasi kelas mereka. Dalam satu jam/sesi pelajaran, guru juga bisa memakai lebih dari satuteknik.
1. Teknik Belajar Mengajar Gotong Royong
a. Mencari Pasangan (Make a Match).
- Dikembangkan oleh Lama Curran (1994).
- Siswa mencari pasangan sambil belaiar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang me¬nyenangkan.
- Bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
b. Bertukar Pasangan.
- Memberi kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain.
- Bbisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
c. Berpikir Berpasangan Berempat
- Dikembangkan oleh Frank Lyman (Think Pair Share) dan Spen¬cer Kagan (Think Pair Square) sebagai struktur kegiatan pem¬belajaran gotong royong.
- Memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain.
- Optimalisasi partisipasi siswa.
- Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas.
- Memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.
- Bisa digunakan dalam semua mata pelaiaran dan untuk sernua tingkatan usia anak didik.
d. Berkirim Salam dan Soal.
- Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk melatih pengetahuan dan keterampilannya.
- Siswa membuat pertanyaan sendiri, sehingga akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman-teman sekelasnya.
- Cocok untuk persiapan menjelang tes dan ujian.
- Bisa digunakan dalam semua mata pelajaran daon untuk semua tingkatan usia anak didik.
e. Kepala Bernomor (Numbered Heads).
- Dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992).
- Memberi¬kan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide¬-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
- Mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka.
- Bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
f. Kepala Bernomor Terstruktur.
- Teknik belajar ini sebagai pengembangan dari teknik Kepala Bernomor.
- Memudahkan dalam pembagian tugas.
- Memudahkan siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dalam saling keterkaitan dengan rekan sekelompoknya.
- Bisa digunakan untuk semua mata pelajaran serta semua tingkatan usia anak didik.
g. Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray).
- Dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992).
- Dapat digunakan bersama dengan Teknik Kepala Bernomor.
- Bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
- Memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain.
- Banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan kegiatan individu.
- Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal kenyataan hidup di luar sekolah kehidupan dan kerja saling bergantung satu dengan yang lainnya. Christophorus Columbus tidak akan menemukan benua Amerika jika tidak tergerak oleh penemuan Galileo Galilei yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Einstein pun mendasarkan teori pada teori Newton.
h. Keliling Kelompok
- Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk sernua tingkatan usia anak didik.
- Dalam kegiatan Keliling Kelompok, masing masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kantribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.
i. Kancing Gemerincing
- Teknik ini dikembang¬kan oleh Spencer Kagan (1992).
- Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
- Dalam kegiatan Kancing Gemerincing, masing masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.
- Teknik ini dapat digunakan untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok.
- Dalam banyak kelompok, sering ada anak yang terlalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya, juga ada anak yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak tercapai karena anak yang pasif terlalu menggantungkan diri pada rekannya yang dominan.
- Teknik ini memastikan setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan serta.
j. Keliling Kelas
- Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
- Bila teknik ini digunakan untuk anak-anak tingkat dasar, maka perlu disertai dengan manajemen kelas yang baik supaya tidak terjadi kegaduhan.
- Masing-masing kelompok mendapatkan kesempatan untuk memamerkan hasil kerjanya dan melihat hasil kerja kelompok lain.
k. Lingkaran Kecil Lingkaran Besar (inside Outside Circle)
- Dikembangkan oleh Spencer Kagan
- Untuk mem¬berikan kesempatan pada siswa agar saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan.
- Pendekatan ini bisa digunakan dalam berberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama, matematika, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang membutuhkan pertukaran pikiran dan informasi antarsiswa.
- Salah satu keunggulan teknik ini adalah adanya struktur yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur.
- Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mem¬punyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan me¬ningkatkan keterampilan berkomunikasi.
- Bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik dan sangat disukai, terutama oleh anak anak.
Lingkaran Kelompok,
1. Satu kelompok berdiri di lingkaran kecil menghadap keluar. Kelompok lain berdiri di lingkaran besar.
2. Kelompok berputar seperti prosedur lingkaran individu yang dijelaskan di atas dan saling berbagi.
Variasi:
Untuk kelas taman kanak kanak atau sekolah dasar, perputaran. Lingkaran besar berputar, sementara semua siswa menyanyi. Di tengah-tengah lagu, guru mengatakan “STOP”. Nyanyian dan perputaran lingkaran dihentikan. Siswa saling berbagi.
l. Tari Bambu
- Teknik ini dikembangkan atau modifikasi dari Lingkaran Kecil Lingkaran Besar.
- Di banyak kelas, dalam Lingkaran Kecil Lingkar¬an Besar sering tidak bisa dipenuhi karena kondisi penataan ruang kelas yang tidak menunjang. Tidak ada cukup ruang di dalam kelas untuk membentuk lingkaran dan tidak selalu memungkinkan untuk membawa siswa keluar dari ruang kelas dan bela jar di luar empat dinding ruang kelas. Kebanyakan ruang kelas di Indonesia memang ditata dengan model klasikal/ tradisional. Bahkan banyak penataan tradisional ini bersifat permanen, yaitu kursi dan meja sulit dipindahkan.
- Teknik ini diberi nama Tari Bambu, karena siswa berjajar dan saling berhadapan dengan model yang mirip seperti dua potong bambu yang digunakan dalam Tari Bambu Filipina yang juga populer di beberapa daerah di Indonesia.
- Dalam kegiatan belajar mengajar teknik ini, siswa saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan.
- Pendekatan ini bisa digunakan dalam be¬berapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama, matematika, dan bahasa.
- Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adaolah bahan yang membutuhkan pertukaran pengalaman, pikiran, dan informasi antarsiswa.
- Salah satu keunggulan teknik ini adalah adanyastruktur yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur.
- Selain itu, siswa be¬kerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkornunikasi.
- Tari Bambu bisa digunakan untuk sernua tingkatan usia anak didik.
Tari Bambu Kelompok,
1. Satu kelompok berdiri di satu jajaran berhadapan dengan kelompok lain.
2. Kelompok bergeser seperti prosedur Tari Bambu Individu di atas dan saling berbagi.
m. Jigsaw
- Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson sebagai metode Cooperative Learning.
- Teknik ini bisa digunakan dalarn pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
- Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara.
- Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu penge¬tahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa.
- Teknik ini cocok untuk semua kelas/tingkatan.
- Dalam teknik ini, guru memperhatikan skernata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna.
- Selain itu, siswa bekerja dengan sesamna siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Variasi:
Jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk Kelompok Para Ahli. Siswa berkumpul dengan siswa lain yang mendapatkan bagian yang sama dari keliompok lain. Mereka bekerja sama mempelajari/mengerjakan bagian tersebut. Kemudian, masing masing siswa kembali ke kelompoknya sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada rekan-rekan dalam kelompoknya.
n. Bercerita Berpasangan (Paired Storytelling),
- Dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajar, dan bahan pelajaran (Lie, 1994).
- Teknik ini bisa di¬gunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
- Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara.
- Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelaiaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama. dan bahasa.
- Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif.
- Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dipakainya bahan bahan yang lainnya.
- Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa meng¬aktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih ber¬makna.
- Dalam kegiatan ini, siswa dirangsang untuk me¬ngembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Buah¬ pemikiran mereka akan dihargai, sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar.
- Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
- Bercerita Ber¬pasangan bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.
G. PELAKSANAAN PELAJARAN COOPERATIVE LEARNING.
1. Tugas-Tugas Perencanaan
Beberapa tugas perencanaan dan keputusan yang unik yang dibutuhkan oleh pengajar dalam mempersiapkan diri mengajar dalam pelajaran Cooperative Learning.
a. Memilih Pendekatan
Empat pendekatan yang seharusnya merupakan bagian dari kumpulan strategi pengajar pemula adalah sebagai berikut:
Student Teams Achievement Division (STAD).
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkin, merupakan pendekatan Cooperatif Learning yang paling sederhana. STAD mengacu pada belajar kelompok, menyajikan informasi akademik baru pada siswa setiap minggu dengan menggunakan presentasi verbal dan teks.
- Siswa dalam 1 kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok dengan jumlah 4 atau 5 orang.
- Setiap kelompok harus heterogen yaitu laki dan perempuan, bermacam suku dan kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
- Anggota tim menggunakan lembar kegiatan untuk menuntaskan pelajarannya.
- Kemudian saling membantu sama lain untuk memahami pelajaran melalui tutorial, kuis dan melakukan diskusi.
- Setiap minggu atau 2 minggu siswa diberi kuis. Kuis diskor dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor perkembangan tidak berdasarkan skor mutlak siswa tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor siswa yang lalu.
- Setiap minggu lembar penilaian diumumkan dengan skor tertinggi.
- Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam lembar tersebut.
JIGSAW
Jigsaw dikembangkan dan diuii coba Elliot Aroson bersama teman-teman Universitas Texas, kemudian diadaptasikan oleh Slavin.
- Siswa dibagi berkelompok dengan 5 atau 6 anggota kelompok belajar heterogen.
- Materi diberikan dalam bentuk teks.
- Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu dari bahan yang diberikan. Misalnya: Siswa akan mempelajari tentang Ekskresi, maka siswa secara berbeda mempelajari tentang paru-paru, hati, ginjal dan kulit.
- Anggota dari kelompok lain juga mempelajari hal yang sama.
- Kelompok tersebut kita sebut dengan kelompok ahli yaitu ahli paru, ahli hati, ahli ginjal dan ahli kulit.
- Selanjutnya anggota tim ahli kembali ke kelompok asal dan mengajarkan apa yang dipelajarinya dan didiskusikan dalam kelompok ahlinya untuk diajarkan pada temen sekelompoknya.
- Pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa dikenai kuis secara individual tentang materi belajar.
- Jigsaw versi Slavin, skor tim menggunakan prosedur skoring yang sama dengan STAD yaitu Tim dan individu yang mendapat skor tinggi mendapat pengakuan dalam lembar pengakuan mingguan.
Investigasi Kelompok ( IK )
Model ini merupakan model Cooperative Learning yang paling kompleks dan sulit diterapkan. Model ini dikembankan oleh Thelan dan dipertajam oelh Sharan.
- Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang rumit yaitu mengajar siswa ketrampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik.
- Pengajar membagi kelompok dengan anggota 5 atau 6 yang heterogen.
- Untuk beberapa kasus, kelompok dibentuk dengan mem-pertimbangkan keakraban atau minat yang sama dalam topik tertentu.
- Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki.
- Kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya pada seluruh kelas.
- Sharan dkk (1984) menetapkan 6 tahap IK yaitu:
Pemilihan Topik, Siswa memilih topik yang biasanya sudah ditetapkan oleh pengajar, selanjutnya siswa diorganisasi menjadi 2 s/d 6 anggota tiap kelompok menjadi kelompok yang berorientasi tugas dimana dalam kelompok hendaknya heterogen secara akademis maupun etnis.
Perencanaan Kooperatif, Siswa dan pengajar merencanakan prosedur pembelajaran dan tujuan khusu yang konsisten dengan topik yang dipilih.
Implementasi, Siswa menerapkan rencana yang telah dikembangkan. Kegiatan hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan ketrampilan yang luas dan juga mengarahkan siswa pada jenis sumber belajar yang berbeda baik didalam maupun diluar kelas. Pengajar secara ketat mengikuti kemajuan tiap kelompok dan menawarkan bantuan bila diperlukan.
Analisis dan Sistesis, siswa menganalisi dan mengevaluasi informasi danmerencanakan bagaimana informasi tersebut diringkat dan disajikan dengan menarik untuk dipresentasikan pada seluruh kelas.
Presentasi Hasil Final, semua kelompok mempresentasikan dengan menarik agar siswa lain saling terlibat sehingga memperoleh perspektif yang lebih luas dan presentasi ini dikoordinasi oleh pengajar.
Evaluasi, Kelompok-kelompok menangi aspek yang berbeda dari topik yang sama, siswa dan pengajar mengevaluasi tiap kontribusi kelompom terhadap kerja kelas. Evaluasi dalam bentuk individual dan kelompok.
Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dkk (1993), pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Kagen menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih menekankan pada penghargaan kooperatif daripada individual. Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik ada juga yang dirancang untuk mengajarkan ketrampilan sosial atau ketrampilan kelompok. Ada 2 macam struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan isi akademik atau untuk men-cek pemahaman siswa terhadap isi tertentu yaitu Think-pair-share dan Numbered-head-togather, sedangkan untuk mengajarkan ketrampilan sosial yaitu Active Listening dan Time token:
1. Think-pair-share
Dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland (1985).
• Strategi ini menantang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan dalam seting seluruh kelompok.
• Prosedur ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu untuk banyak berfikir, menjawab dan saling membantu.
• Pengajar menginginkan siswa memikirkan secara mendalah tentang apa yang telah dialami.
• Langkah-langkahnya sebagai berikut:
Tahap: 1, Thinking (berfikir). Pengajar mengajukan pertanyaan, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap: 2, Pairing. Pengajar meminta siswa untuk berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkan. Dalam tahap ini diharapkan berbagi jawaban. Biasanya pengajar memberi waktu 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
Tahap: 3, Share. Pengajar meminta pada pasangan untuk berbagi seluruh kelas untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah dibicarakan secara bergiliran untuk melaporkan.
2. Numbered-head-together
Dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi dan mencek pemahaman terhadap isi pelajaran. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
Tahap: 1, Penomoran. Pengajar membagi siswa dalam kelompok yang beranggota 3 – 5 orang dan diberi nomor 1 sampai 5.
Tahap: 2, Mengajukan Pertanyaan. Pengajar mengajukan pertanyaan yang bervariasi pada siswa. Pertanyaan dapat berbentuk pertanyaan atau arahan misalnya: Pastikanlah bahwa bumi tersebut bulat.
Tahap: 3, Berfikir Bersama. Siswa menyatukan pendapat terhadap jawaban pertanyaan dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut.
Tahap: 4, Menjawab. Pengajar memanggil satu nomor tertentu, kemudian nomor yang disebut siswa mengacungkan tangannya dan menjawa pertanyaan untuk seluruh kelas.
Tabel: 4, Perbandingan 4 Pendekatan Dalam Cooperative Learning
ASPEK STAD JIGSAW KELOMPOK
PENYELIDIKAN PENDEKATAN
STRUKTUR
Tujuan
Kognitif Informasi akademik
sederhana Informasi akademik
sederhana Informasi akademik
Tingkat tinggi dan ketrampilan inkuiri Informasi akademik
sederhana
Tujuan
Sosial Kerja kelompok dan kerja sama Kerja kelompok kerja sama Kerjasama dalam kelompok kompleks Ketrampilan kelompok & sosial
Struktur
Tim Kelompok belajar heterogen 4-5 orang Kelompok belajar heterogen 5-6 orang menggunakan pola kelompok”asal” & kelompok “ahli” Kelompok belajar 5-6 orang, homogen Bervariasi berdua, bertiga Kelompok dengan 4-6 orang
Pemilihan
Topik
Pelajaran Biasanya Guru Biasanya Guru Biasanya Siswa Biasanya Guru
Tugas
Utama Siswa menggunakan lembar kegiatan & saling bantu untuk menuntaskan materi belajarnya Siswa mempelajari materi dlm kelompok “ahli” kemudian membantu anggota kelompok “asal”mempelajari materi Siswa menyelesaikan inkuiri kompleks Siswa mengerjakan tugas yang diberikan sosial dan kognitif
Penilaian Tes mingguan Bervariasi, dapat berupa tes mingguan Menyelesaikan proyek & menulis laporan, dapat menggunakan tes essay Bervariasi
Pengakuan Lembar pengetahuan & publikasi lain Publikasi lain Lembar pengakuan dan publikasi lain Bervariasi
b. Memilih Materi Yang Sesuai
Model ini membutuhkan pengarahan diri dan inisiatif siswa yang memadai. Tanpa isi yang memberikan tantangan yang sesuai dan menarik, Cooperative Learning akan bubar atau gagal. Pengajar hendaknya tanggap pada perkiraan tingkat perkembangan mental dan minat siswa. Ada beberapa pertanyaan untuk dipertimbangkan dalam menentukan materi yaitu:
• Apa siswa sudah mengenal materi tersebut sebelumnya atau membutuhkan penjelasan tentang materi tersebut ?
• Apa materi tersebut menarik bagi siswa ?
• Jika pengajar merencanakan untuk menggunakan teks, apakah ia telah memberikan informasi yang cukup tentang topik itu ?
• Untuk pelajaran STAD dan JIGSAW, apakah meteri itu memungkinkan untuk kiis objektif yang dapat diteskan dan skor secara cepat ?
• Untuk pelajaran JIGSAW, apakah materi yang akan diajarkan secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian (sub-topik) ?
• Untuk pelajaran investigasi kelompok, Apakah pengajar memiliki penguasaan yang cukup untuk memandu siswa kedalam sub topik dan mengarahkanmereka pada sumber yang relevan ? Apakah tersedia sumber yang relevan itu ?
c. Pembentukan Kelompok Siswa
Tugas ini bervariasi tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan latar belakang, etnik, suku dan tingkat kemampuan siswa dalam kelas. Oleh karena itu dalam menentukan kelompok, pengajar dalam perencanaannya harus menetapkan tujuan akademik dan sosial secara jelas. Akhirnya karakteristik utama dalam hal ini harus dikorbankan untuk memenuhi karakteristik umum.
d. Pengembangan Materi dan Tujuan
Walau materi telah disampaikan secara verbal yang bermakna atau demonstrasi yang disertai ketrampilan tertentu, akan tetapi informasi umumnya disampaikan dalam bentuk teks, lembar kegiatan dan panduan belajar. Jika diberikan teks, maka teks harus menarik. Menggunakan teks perguruan tinggi umumnya tidak cocok untuk tingkat usia dasar kecuali pada tingkatan SMU tingkat tinggi. Untuk investigasi kelompok tentunya mengumpulkan materi yang cukup memadai. Sebelum mulai pembelajaran pengajar dapat menyampaikan tujuan dan mengetahui jumlah siswa yang terlibat. Beberapa petunjuk untuk merencanakan Cooperative Learning.
• Lakukan pertemuan dengan pustakawan sekolah dan laboran sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum pelajaran dan utarakan tujuan pelajarannya. Tanyakan ide mereka dan mintalah bantuan.
• Tindak lanjuti pertemuan tersebut dengan catatan ringkasan ide-ide singkat dan kesepakatan-kesepakatan.
• Periksalah kembali beberapa hari sebelumnya bahan-bahan yang anda perlukan untuk memastikan segala sesuatunya telah siap.
• Bila bahan itu harus anda gunakan di kelas,mintalah laboran membantu anda, termasuk bila perlu untk menjelaskan kepada siswa.
e. Mengenal Siswa Kepada Tugas dan Peran
Sangat penting untuk menjelaskan bagaimana Cooperative Learning diterapkan tentang tugas, tujuan dan struktur penghargaan yang unik. Petunjuk tersebut hendaknya juga ditempel seperti poster dan berisikan tentang:
• Tujuan Pelajaran
• Apa yang diharapkan untuk dilakukan siswa sambil bekerja dalam kelompoknya.
• Batas waktu untuk menyelesaikan tugas atau aktivitas.
• Jadwal pelaksanaan kuis bila menggunakan STAD atau JIGSAW.
• Jadwalkanlah presentasi kelas bila menggunakan investasi kelompok.
• Prosedur pemberian nilai untuk menghargaan individu dan kelompok.
• Format untuk presentasi laporan.
f. Merencanakan Waktu dan Tempat
Kebanyakan pengajar meremehkan jumlah waktu yang akan digunakan. Dalam Cooperative Learning banyak menyita waktu untuk siswa berinteraksi tentang ide-ide. Melakukan peralihan dari seluruh kelas pada kelompok kecil akan memakan waktu yang banyak. Oleh karena itu dengan perencanaan yang matang dapat membantu pengajar untuk lebih realistik tentang persyaratan waktu dan meminimalkan jumlah waktu yang terbuang.
Dalam penggunaan ruang ada 2 model pengaturan tempat yaitu model cluster dan swing.
Model Cluster.
Pada model ini tempat duduk diatur 4 sampai 6 tempat duduk dalam tiap kelompok. Pengajar dapat juga memerintahkan memindahkan posisi tempat duduk saat presentasi langsung atau demonstrasi.
2. Tugas-Tugas Interaktif
a. Menyampaikan Tujuan dan memotivasi Siswa
b. Menyajikan Informasi
c. Mengorganisasikan dan Membantu Kelompok Belajar
H. PENILAIAN DAN EVALUASI COOPERATIVE LEARNING.
Karena model Cooperative Learning bekerja di bawah struktur penghargaan kooperatif dan karena banyak Cooperative Learning bertujuan untuk mencapai pembelajaran kognitif dan sosial yang kompleks, dibutuhkan pendekatan penilaian dan evaluasi yang berbeda.
1. Pengetesan Dalam Cooperative Learning.
Untuk Student Teams-Achievement Devisions (STAD) atau Tim Siswa-Kelompok Prestasi (Slavin, 1994), guru meminta siswa menjawab kuis tentang bahan pelajaran yang berbentuk tes objektif paper-and-pencil , sehingga butir-butir tersebut dapat di skor di kelas (segera setelah tes diberikan).
Tabel: 5, Prosedur Penyekoran untuk STAD dan JIGSAW
Langkah: 1
Menetapkan Skor dasar Setiap siswa diberikan skor berdasarkan skor-skor kuis yang lalu
Langkah: 2
Menghitung Skor kuis terkini Siswa memperoleh poin untuk kuis yang berkaitan dengan pelajaran terkini
Langkah: 3
Menghitung Skor perkembangan Siswa mendapatkan poin perkembangan yang besarnya ditentukan apakah skor kuis terkini mereka menyamai atau melampaui skor dasar mereka, dengan menggunakan skala yang diberikan di bawah ini.
Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar 0 poin
10 poin di bawah sampai 1 poin di bawah skor dasar 10 poin
Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar 20 poin
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 30 poin
Pekerjaan sempurna (tanpa memperhatikan skor dasar) 30 poin
Besar poin yang disumbangkan tiap siswa pada tim nya ditentukan oleh berapa skor siswa melampaui rata-rata skor kuis siswa itu sendiri yang terdahulu. Siswa dengan pekerjaan sempurna mendapatkan poin perkembangan maksimum, tanpa memperhatikan poin dasar mereka. Setiap sistem perkembangan individu memberikan siswa kesempatan baik untuk menyumbang poin maksimum pada tim jika siswa melakukan yang terbaik, sehingga menunjukkan peningkatan perkembangan substansial. Sistem poin perkembangan telah menunjukkan kinerja akademik siswa meskipun tanpa tim, tetapi ini khusunya penting sebagai komponen STAD karena sistem ini mencegah kemungkinan siswa berkinerja rendah tidak akan diterima sepenuhnya sebagai anggota kelompok kerena mereka tidak menyumbangkan poin banyak.
Tidak ada sistem pen-skoran khusus untuk pendekatan kelompok. Laporan atau presentasi kelompok dapat digunakan sebagai salah satu dasar untuk evaluasi, dan siswa hendaknya diberi penghargaan untuk dua-duanya, sumbangan individual dan hasil kolektif.
2. Pemberian Nilai Dalam Cooperative Learning.
Dalam pembelajaran ini pengajar hendaknya berhati-hati dengan cara menilai yang diterapkan diluar sistem penilaian mingguan di atas. Konsisten dengan konsep struktur penghargaan kooperatif, penting bagi pengajar untuk menghargai hasil kelompok dua-duanya hasil akhir dan perilaku kooperatif yang menghasilkan hasil akhir tersebut.
Bagaimanapun juga, tugas penilaian ganda dapat menyulitkan pengajar pada saat pengajar mencoba menentukan nilai individual untuk hasil kelompok. Misalnya: siswa yang mempunyai ambisi untuk mengambil bagian lebih besar dari tanggung jawabnya untuk menyelesaikan tugas kelompoknya dan kemudian merasa diperlakukan tidak adil karena teman kelompok yang memberikan sumbangan sedikit, akan mendapat hasil yang sama.
Berapa pengajar yang berpengalaman telah menemukan solusi untuk dilema ini dengan memberikan 2 evaluasi, satu untukupaya kelompok dan satunya untuk sumbangan individu.
3. Pengakuan Terhadap Upaya Kooperatif.
Suatu tugas penilaian dan evaluasi penting terakhir yang unik untuk Cooperative Learning adalah pengakuan terhadap upaya dan hasil belajar siswa. SLAVIN dan para pengembang lain dari Universitas Johns Hopkins, menciptakan konsep pengumuman tempel kelas mingguan untuk digunakan dalam STAD dan JIGSAW. Pengajar (kadang-kadang kelas itu sendiri) melaporkan dan mengumumkan tempel ini.
Akhir-akhir ini kelompok Johns Hopkins cenderung untuk mengurangi persaingan antar tim. Sebagai gantinya menentukan tim pemenang, mereka merekomendasikan pemberian pengakuan tim-tim yang berhasil mencapai kriteria yang ditetapkan sebelumnya untuk mengevaluasi hasil belajar tim. Dibawah ini menunjukkan kriteria yang digunakan beberapa pengajar dan contoh rangkuman kinerja tim.
Para pengembang pendekatan investigasi kelompok memberi pengakuan upaya tim dengan mengutamakan presentasi kelompok dan dengan memperagakan hasil-hasil investigasi kelompok dalam kelas. Bentuk pengakuan ini dapat dipertegas lagi dengan mengundang tamu (orang tua, siswa dari kelas lain atau kepala sekolah) untuk menyaksikan laporan akhir. Pengumuman tempel yang merangkum hasil investigasi kelompok kelas dapat juga dihasilkan dan dikirimkan pada orang tua dan orang lain di sekolah itu dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I, 1997, Classroom Intruction and Management, Mc Graw-Hill.
Albert, Charles E. & McCartney, Catherine E. 1997. Study Guide for Slavin Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition. Boston: allyn ang Bacon.
Curran, Lorna. 1994. Lenguage Arts and Cooperative Learning: Lessons for The Little Ones. San Juan Capistrano: Kagan Cooperative Learning.
Curran, Lorna. 1994. Mathematics and Cooperative Learning: Lessons for The Little Ones. San Juan Capistrano: Kagan Cooperative Learning.
Gordon, Scott. 1991. History and Philosophy of Social Science.
Hill, Susan & Hill, Tim, 1993. The A Guide to Co-operative Learning, Collaborative Classroom, Printed by SRM Production Sevice Sdn.Bhd. Malaysia.
Jacob, T.2000, Manusia: Pembawa dan Penyebab, Pereka dan Pemecah Problem. Orasi Ilmiah. UGM. Yokyakarta.
Johnson, DW,& Johnson,R. 1989. Cooperative and Competion: Theoru and Research. Edina,MN: Interaction Book Company.
Kagan, Spencer. 1992. Cooperative Learning, San Juan Capistrano: Kagan Cooperative Learning.
Lie, Anita. 1992. “Jigsaw: Cooperative Learning for EFL Student.” Cross Currents, 19: 1, Summer.
Medsker, Karen L, dan Holdsworth, Kristina M, 2001, Models and Strategies for Training Design. About ISPI. Printed in United states of Amirica
Sharan, Yael & Shlomo Sharan. 1992. Expanding Cooperative Learning Throuhg Group Investigation, New York: Teachers Collage Press.
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning , Printed in United states of Amirica.

Tidak ada komentar: